CARA DAN KEUTAMAAN MEMAKMURKAN MASJID
CARA DAN KEUTAMAAN MEMAKMURKAN MASJID
Sejarah memakmurkan masjid di zaman
Rasulullah yang bisa kita jadikan pegangan dalam memakmurkan masjid di era saat
ini.
Hal ini penting karena masjid
merupakan rumah ibadah umat Islam yang mampu dijadikan wahana untuk
meningkatkan keimanan dan ketakwaan juga ibadah-ibadah sosial lainnya.
Setelah umat Islam menguasai kota
Makkah pada tahun ke delapan hijriyah, kalimat Allah menggema di Masjidil Haram
dan di sekitarnya. Kebenaran menggantikan kebatilan dan kebaikan menggantikan
keburukan. Kegiatan ibadah dalam Masjidil Haram dilaksanakan sesuai dengan
ajaran Islam. Segala bentuk ibadah yang batil yang dilaksanakan kaum musyrik
pun dihapuskan.
Pada tahun ke sembilan hijriyah,
Nabi saw mengutus Ali bin Abi Thalib untuk menyampaikan awal surat al-Taubah
pada waktu haji akbar. Awal surat al-Taubah itu menyatakan pembatalan
perjanjian dengan orang-orang musyrik, karena mereka selalu mengkhianati
perjanjian itu. Ibnu Abbas meriwayatkan
bahwa setelah selesai perang Badar, al-Abbas adalah termasuk orang yang ditawan
oleh umat Islam. Ia mendapatkan ejekan dan cemoohan dari orang-orang Muslim dan
menyatakan bahwa dia seorang yang kafir. Al-Abbas menjawab cemoohan orang-orang
Muslim dengan pernyataan: Mengapa kamu hanya menyebut-nyebut kejahatan kami
saja, dan tidak sedikitpun menyebut kabaikan kami? Sayyidina Ali menjawab
pertanyaan Abbas: Apa kebaikan yang kamu lakukan? Abbas menjawab: Kami mengurus
dan memakmurkan Masjidil Haram, memelihara Ka’bah dan menyediakan minuman bagi
jamaah haji.
Berkaitan dengan pernyataan al-Abbas
itu turun ayat untuk membantahnya, yaitu:
مَا كَانَ لِلۡمُشۡرِكِينَ
أَن يَعۡمُرُواْ مَسَٰجِدَ ٱللَّهِ شَٰهِدِينَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِم بِٱلۡكُفۡرِۚ أُوْلَٰٓئِكَ
حَبِطَتۡ أَعۡمَٰلُهُمۡ وَفِي ٱلنَّارِ هُمۡ خَٰلِدُونَ
Artinya: "Tidaklah pantas
orang-orang musyrik itu memakmurkan mesjid-mesjid Allah, sedang mereka mengakui
bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan
mereka kekal di dalam neraka." (QS. al-Taubah, 09:17).
Ayat ini menjelaskan bahwa tidak
layak bagi kaum musyrikin, memakmurkan Masjidil Haram dan masjid-masjid
lainnya. Memakmurkan masjid-masjid Allah itu bertujuan untuk mengesakan dan
mengagungkan Allah, serta mentaati-Nya. Dengan demikian, kegiatan itu hanya
layak dilakukan oleh orang-orang yang beriman, bukan oleh orang-orang kafir
maupun orang-orang munafik.
Yang dimaksud dengan memakmurkan
masjid ialah membangunnya, mengurusnya dengan baik, menghidupkannya dengan amal
ibadah yang diridhai oleh Allah.
Al-Abbas setelah ditawan oleh umat
Islam dalam perang Badar, termasuk orang yang ditebus dan pada perkembangan
selanjutnya, ia masuk agama Islam. Orang-orang musyrik Quraisy meskipun mereka
pada awalnya memakmurkan masjid, memelihara Ka’bah, dan menyediakan air minum
untuk jamaah haji, amal mereka tertolak, karena mereka masih dalam keadaan
musyrik.
Allah berfirman:
ذَٰلِكَ هُدَى ٱللَّهِ
يَهۡدِي بِهِۦ مَن يَشَآءُ مِنۡ عِبَادِهِۦۚ وَلَوۡ أَشۡرَكُواْ لَحَبِطَ عَنۡهُم
مَّا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ
Artinya: "Itulah petunjuk
Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di
antara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya
lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan." (QS. al-An’am,
06:88).
Mereka yang paling layak untuk
memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman dan berserah
diri kepada Allah, amal dan ibadahnya dikerjakan dengan ikhlas semata-mata
untuk memperoleh keridhaan-Nya.
إِنَّمَا يَعۡمُرُ مَسَٰجِدَ ٱللَّهِ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ
ٱلۡأٓخِرِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَلَمۡ يَخۡشَ إِلَّا ٱللَّهَۖ
فَعَسَىٰٓ أُوْلَٰٓئِكَ أَن يَكُونُواْ مِنَ ٱلۡمُهۡتَدِينَ
Artinya: "Hanya yang
memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut
(kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang
diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS.
al-Taubah, 09:18).
Mereka yang layak memakmurkan
masjid-masjid Allah, adalah
(1) Orang-orang yang beriman kepada
Allah.
(2) Beriman kepada hari akhirat,
(3) Menegakkan shalat,
(4) Menunaikan zakat, dan
(5) Hanya takut kepada Allah, tidak
takut kepada yang lainnya.
Lima kriteria tersebut bisa
dikembangkan lebih luas lagi, misalnya memakmurkan masjid Allah dengan
orang-orang yang berilmu dan mengajarkan ilmunya di tempat tersebut.
Demikian juga orang-orang yang
membangun masjid. Nabi bersabda:
مَن بَنَى مَسْجِدًا يَبْتَغِي
به وجْهَ اللَّهِ بَنَى اللَّهُ له مِثْلَهُ في الجَنَّةِ
Artinya: "Barang siapa yang
membangun masjid semata-mata mencari keridhaan Allah, maka Allah akan
membangunkan baginya tempat tinggal seperti itu di syurga". (HR. Bukhari,
450).
Termasuk dalam kegiatan memakmurkan
masjid adalah orang-orang yang membiasakan diri untuk shalat dan beribadah di
dalamnya. Nabi bersabda:
إذا رَأيتُمُ الرَّجُلَ
يَعتادُ المَسجِدَ، فاشْهَدُوْا لَهُ بِالْإِيْمَانِ
Artinya: "Apabila engkau
melihat seseorang yang membiasakan diri (beribadah) di masjid, maka saksikanlah
bahwa ia seorang yang beriman". (HR. Ibnu Hibban, 1721).
Memakmurkan masjid juga bisa dengan
jalan menjaga kebersihan dan kesuciannya, mengepel
lantainya, dan menyapu halamannya, memasang lampu-lampu penerang, serta
berbagai kegiatan lain yang dianggap baik. Rasulullah saw pernah menanyakan
kepada para sahabatnya tentang seorang wanita atau seorang pemuda yang biasa
membersihkan masjid.
Para sahabat menginformasikan kepada
Nabi bahwa wanita itu telah meninggal dunia. Nabi menegur para sahabat, kenapa
kalian tidak memberitahuku agar aku dapat menyolatkannya. Kemudian Nabi mengatakan
kepada para sahabat, tunjukkanlah kepadaku di mana kuburannya? Maka Nabi
mendatangi kuburan itu, lalu menyolatkannya.
أنَّ امْرَأَةً سَوْدَاءَ
كَانَتْ تَقُمُّ المَسْجِدَ، أَوْ شَابًّا، فَفَقَدَهَا رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ
عليه وَسَلَّمَ، فَسَأَلَ عَنْهَا، أَوْ عنْه، فَقالوا: مَاتَ، قالَ: أَفلا كُنْتُمْ
آذَنْتُمُونِي قالَ: فَكَأنَّهُمْ صَغَّرُوا أَمْرَهَا، أَوْ أَمْرَهُ، فَقالَ: دُلُّونِي
علَى قَبْرِهِ فَدَلُّوهُ، فَصَلَّى عَلَيْهَا، ثُمَّ قالَ: إنَّ هذِه القُبُورَ مَمْلُوءَةٌ
ظُلْمَةً علَى أَهْلِهَا، وإنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنَوِّرُهَا لهمْ بصَلَاتي
عليهم.
Artinya: "Sesungguhnya ada
seorang wanita berkulit hitam, ia menghidupkan masjid, atau seorang pemuda.
Nabi s.a.w. tidak melihatnya, maka beliau bertanya kepada para sahabat. Para
sahabat menginformasikan bahwa ia telah wafat. Nabi bersabda: Kenapa kalian
tidak memberitahuku. Tampaknya para sahabat menganggap kecil atau menyepelekan
pekerjaan perempuan atau pemuda itu. Maka Nabi bersabda: Tunjukkanlah kepadaku
di mana kuburannya. Maka para sahabat menunjukinya, maka Nabi pun
menyolatkannya di kuburan itu. Nabi bersabda: Sesungguhnya kuburan ini tempat
yang penuh kegelapan, dan sesungguhnya Allah s.w.t. akan menerangi kuburan itu
dengan shalat/doaku untuk mereka". (HR. Muslim, 956).
Dari hadits tersebut dapat dipahami
betapa pentingnya kedudukan orang yang selalu menjaga kebersihan masjid dan
kesuciannya, demikian juga menerangi masjid dengan lampu-lampu secukupnya.
Dalam beberapa kitab tafsir, antara
lain Ruhul Bayan dan Tafsir Kementrian Agama disebutkan:
مَنْ أَسْرَجَ سِرَاجًا
فِي الْمَسْجِدِ بِقَدْرِ مَا يَدُوْرُ فِي الْعَيْنِ لَمْ تَزَلِ الْمَلاَئِكَةُ تَسْتَغْفِرُ
لَهُ مَا دَامَ ذَلِكَ الضَّوْءُ فِي الْمَسْجِدِ
Artinya: "Barang siapa yang
menyalakan lampu di masjid, yang mengakibatkan mata bisa melihat, tidak
henti-hentinya para malaikat memohon ampunan untuknya, selama lampu itu terus
menyala di masjid". (HR. Salim al-Razi dari Anas r.a.).
Ada beberapa kegiatan yang sangat
baik yang pahalanya terus mengalir, yaitu:
(1) Orang yang mengamalkan dan
mengajarkan ilmunya,
(2) Membuat selokan air,
(3) Membuat sumur,
(4) Menanam pohon,
(5) Mendirikan masjid,
(6) Mewariskan mushaf, dan
(7) Memiliki anak yang memohon
ampunan kepada Allah untuk kedua orang tuanya setelah keduanya wafat.
Disebutkan dalam hadits:
سَبْعٌ يَجْرِي لِلْعَبْدِ
أَجْرُهنَّ وَهُوَ فِيْ قَبْرِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ: مَنْ علَّم علمًا أو كَرَى نَهْرًا،
أَوْ حَفَرَ بِئْرًا، أَوْ غَرَسَ نَخْلًا أَوْ بَنَى مَسْجِدًا، أَوْ وَرَّثَ مُصْحَفًا،
أَوْ تَرَكَ وَلَدًا يَسْتَغْفِرُ لَهُ بَعْدَ مَوْتِهِ
Artinya: "Ada tujuh amal yang
pahalanya terus mengalir ke dalam kubur setelah seseorang meninggal, yaitu:
(1) Orang yang mengamalkan dan
mengajarkan ilmunya,
(2) Membuat selokan air,
(3) Membuat sumur,
(4) Menanam pohon,
(5) Mendirikan masjid,
(6) Mewariskan mushaf, dan
(7) Memiliki anak yang memohon
ampunan kepada Allah untuk orang tuanya setelah wafat". (HR. al-Bazzar,
7289).
Sayyidina Ali ra menjelaskan, ada
enam muru’ah (keperwiraan) yang harus dilestarikan, tiga dilakukan pada saat
ada di rumah, dan yang tiga lagi pada saat bepergian.
Tiga yang ada di rumah yaitu:
(1) Membaca al-Qur’an,
(2) Memakmurkan masjid, dan
(3) Bersahabat karena Allah.
Tiga yang dilakukan di perjalanan
adalah:
(1) Memberi bekal,
(2) Berperilaku baik,
(3) Bercanda atau bergurau yang
baik.


Komentar
Posting Komentar